Lombok Tengah – Suara keras datang dari masyarakat Desa Pelambik, Kecamatan Praya Barat Daya, Lombok Tengah.
Mereka menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia mencabut izin konsesi hutan milik PT Shadana Arifnusa.
Tuntutan ini muncul setelah diduga terjadi penebangan kayu jati dan sonokeling di kawasan hutan alam yang masuk dalam wilayah konsesi perusahaan tersebut.
Tokoh masyarakat Pelambik, Sarjono, mempertanyakan dasar hukum penebangan kayu alam yang dilakukan PT Shadana Arifnusa.
Menurutnya, perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) tidak memiliki hak untuk menebang pohon dari hutan alam.
“Tidak ada dasar hukumnya pemegang izin HTI menebang kayu dari hutan alam. Mereka hanya boleh memanen hasil dari tanaman yang mereka tanam sendiri. Jika ada penebangan hutan alam, itu pelanggaran undang-undang dan sanksinya adalah pencabutan izin konsesi,” tegas Sarjono, Rabu (29/10/2025).
Ia mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK.101/Menhut-II/2004 yang menegaskan bahwa perusahaan HTI tidak lagi memiliki hak untuk memanen kayu dari hutan alam di dalam areal konsesinya.
Keputusan ini memperbaiki aturan sebelumnya, SK Menhut Nomor 162/Kpts-II/2003.
Lebih lanjut, Sarjono menilai aktivitas PT Shadana Arifnusa telah menyalahi ketentuan perundang-undangan.
“Areal HTI seharusnya dikembangkan di lahan tidak produktif untuk menghasilkan kayu industri, bukan menebang pohon jati dan sonokeling yang telah kami jaga secara turun-temurun,” ujarnya tegas.
“Alasan bahwa penebangan dilakukan untuk open tembakau sangat tidak masuk akal. Itu kayu berkualitas tinggi, bukan kayu biasa. Keberadaan PT shadana di tempat desa pelambik tidak memberikan dampak positip bagi kesejahteraan warga masyarakat” tambahnya.
Senada, Penasehat Aliansi Pemuda Desa (APD) Lombok Tengah, Bajang Eko, menyampaikan bahwa aktivitas perusahaan tersebut menimbulkan banyak kejanggalan.
Berdasarkan telaah dokumen perizinan, PT Shadana Arifnusa hanya diwajibkan menyusun Rencana Kerja Tahunan (RKT) Hutan Tanaman Industri, bukan Rencana Kerja Tahunan Hutan Alam (RKT-HA).
“Kalau mereka menebang di hutan alam, maka seharusnya memiliki RKT-HA. Ini bentuk pelanggaran serius terhadap peraturan perundang-undangan. Kami dari APD meminta BPKP RI Perwakilan NTB melakukan audit investigasi untuk menghitung potensi kerugian negara akibat penebangan kayu alam ini,” tegas Bajang Eko.
Ia juga menyinggung kewajiban dan larangan yang diatur dalam keputusan Menteri Kehutanan terkait izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI).
“Kalau ada pelanggaran terhadap kewajiban tersebut, maka KLHK wajib mengevaluasi bahkan mencabut izin konsesi. Tahun 2025 saja, ada 18 izin HTI di Indonesia yang dicabut karena pelanggaran,” ungkapnya.
Bajang Eko menambahkan, pihaknya akan membawa persoalan ini Gubernur NTB dan menyiapkan surat terbuka kepada Kementruan LHK RI serta Presiden RI.
“Kami akan kupas habis semua kejanggalan dalam izin PT Shadana Arifnusa, terkait kewajiban dan larangan pada dokument yang mereka milikinya. Ini bukan hanya soal kayu, tapi soal kedaulatan negara atas hutan dan kekayaan alamnya,” tegasnya.
Menurutnya, tujuan utama HTI adalah menciptakan pengelolaan hutan berkelanjutan yang memberi manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi bagi masyarakat.
“HTI dibangun untuk merehabilitasi lahan hutan produksi yang tidak produktif, bukan sebagai modus untuk melakukan pembalakan liar berkedok legalitas izin,” tutup Bajang Eko.
Pewarta : Red/Tim


